Islam adalah ajaran yang
sempurna. Semua aspek kehidupan telah diajarkan oleh agama yang haq ini. Mulai
dari hal-hal tentang ibadah hingga menyangkut tentang kehidupan sehari-hari. Bahkan
masalah kebersihan jasmani dan rohani yang semua itu jauh berbeda dengan
cara-cara orang yahudi.
Diantara sekian banyak perbedaan
seoran muslim dan yahudi salah satunya tentang wanita yang sedang haid. Orang
yahudi memiliki kebiasaan yang sangat tidak menghargai wanita yang sedang haid.
Meraka mempunyai kebiasaan menjauhi wanita yang sedang haid, bahkan duduk pun
mereka melarang.
Begitulah kenyataanya! Memang
tidak ada ajaran yang memuliakan wanita daripada islam. Islam adalah agama yang
ajarannya benar-benar menghargai wanita. Dari mulai aurat, soal haid, dan
bagaimana cara menghadapi wanita haid, islam telah mengatur yang terbaik bagi
wanita. Seperti agama-agama yang lain, agama yahudi melihat wanita hanya dengan
satu sisi saja, bahwa mereka diciptakan hanya untuk pemuas nafsu kaum lelaki
belaka.
Para sahabat nabi takut bahwa
kebiasaan orang yahudi juga disyariatkan dalam islam. Maka mereka bertanya
kepada Nabi SAW tentang hal ini dan turunlah ayat :
و يسألونك عن المحيض قل هو أذى فاعتزلوا النساء في المحيض و لا تقربوهن حتى يطهرن فإذا تطهرنا فأتوهن حيث أمركم الله إن الله يحب التوابين و يحب المتطهرين
“Dan mereka bertanya kepadamu
tentang haid itu najis maka jauhilah para wanita pada masa haid dan jangan
engkau dekati sampai mereka suci.”
Setelah turunnya ayat ini Beliau
SAW bersabda :
إصنعوا كل شيء إلا النكاح
“Lakukan segala sesuatu kecuali
bersetubuh”
Perintah Al qur’an untuk menjauhi
wanita yang sedang haid itu berarti menjauhi area pusar dan lutut sebagaimana
dijelaskan oleh Nabi SAW, dan bukan menjauhi dalam hal makan, minum, dan tempat
tinggal sebagaimana kebiasaan orang yahudi.
Dalam hadits yang diriwayatkan
oleh imam bukhori dan imam muslim,
sayyidah aisyah menceritakan bagaimana nabi SAW berhubungan dengan istri yang
sedang haid. Beliau bercerita :
كنت أشرب و أنا حائض ثم أناوله النبي فيضع فاه على موضع في فيشرب و أتعرق العرق و أنا حائض ثم أناوله النبي فيضع فاه على موضع في
“Aku pernah minum ketika aku
dalam keadaan haid, kemudian aku berikan (tempat minum itu) kepada nabi SAW, maka
beliau pun meletakkan mulut beliau yang mulia pada bekas mulutku. Dan aku
menggigit daging ketika aku dalam keadaan haid, kemudian aku berikan (daging
tersebut) kepada nabi SAW beliau pun meletakkan mulut beliau yang mulia pada
bekas mulutku.”
Tengok betapa romantiskehidupan
keluarga nabi SAW ini! Beliau SAW tidak memperdulikan keadaan istrinya yang
sedang haid, dan tetap bermu’asyaroh dengan mereka sebagaimana ketika mereka
dalam keadaan suci. Dalam hadits lain sayyidah aisyah ra juga bercerita :
كان رسول الله يتكئ في حجري و أنا حائض فيقرأ القرأن
“Pernah Rasul SAW bersandar di
pangkuanku ketika aku dalam keadaan haid, dan beliaupun membaca Al qur’an.”
Mengapa mengharamkan hubungan
suami istri pada masa haid dan tidak mengharamkannya ketika istihadhoh?
Dalil keharaman hubungan badan di
masa haid dari alqur’an adalah ayat yang berbunyi :
و يسألونك عن المحيض ........ الأية
Dalil dari hadits adalah sabda
nabi SAW :
إصنعوا كل شيء إلا النكاح
Oleh karena itulah imam syafi’I
menyatakan :
من فعل ذلك فقد أتى كبيرة
“Orang yang melakukan hal itu
berarti telah melakukan dosa besar,.”
Adapun terhadap wanita yang
istihadhoh, tidak terdapat hadits atau ayat alqur’an yang mengharamkan
persetubuhan. Justru Nabi SAW mengatur hari-hari istihadhoh menjadi hari-hari
haid dan suci sebagaimana hari-hari tidak terjadi istihadhoh. Dalam sebuah
hadits diceritakan ada perempuan yang sedang istihadhoh. Ketika ummu salamah
bertanya kepada Nabi SAW, beliau SAW menjawab :
لتنظر الليالي و الأيام التي كانت تحيض من الشهر قبل أن يصيبها الذي أصابها فلتترك الصلاة قدر ذالك
“Lihatlah jumlah malam dan hari
ketika dia haid pada bulan sebelum istihadhoh, tinggalkan sholat seukuran itu.”
Yang dimaksudkan dengan
‘tinggalkanlah sholat seukuran itu’ adalah tidak semua darah yang keluar itu
dihukumi haid dan tidak semuanya dihukumi suci, akan tetapi ada masa haid dan
ada masa suci. Masa dimana Nabi SAW melarang shalat, itulah masa haid dan
selain itu adalah masa suci. Tentu saja ia boleh berhubungan badan pada masa
suci meski darah masih keluar.
Adapun dari sisi kesehatan,
ternyata mensetubuhi istri yang sedang haid itu membahayakan kesehatan istri.
Sedangkan mensetubuhi istri yang sedang istihadhoh tidak berpengaruh apapun
pada kesehatan istri. Rahim perempuan adalah oragan yang steril, sangat
sensitive dan rentan penyakit, dan oleh karena itu ia selalu tertutup. Bahkan
disaat senggama, rahim tetap tertutup sehingga sperma yang masuk sangatlah
sedikit. Ketika wanita sedang haid, rahim terbuka untuk mengeluarkan darah
haid. Di sinilajh syare’at melarang senggama demi menjaga kesehatan rahim.
Darah haid keluar dari rahim,
sedangkan daarah istihadhoh tidak. Darah istihadoh keluar dari urat ‘adzil yang
terletak di luar organ rahim, seperti hidung kita dimana terdapat urat
didalamnya yang dapat mengeluarkan darah mimisan. Wanita yang mengalami
istihadhoh mulut rahimnya tetap tertutup sehingga jika ia disetubuhi pada saat
itu, bakteri tidak masuk kedalam. Oleh karena itu maka perempuan mustahadhoh
tidak haram disetubuhi, bahkan tidak makruh.
Yang diharamkan pada wanita haid
bukan hanya hubungan suami istri, akan tetapi juga bersentuhan atau bersenang-senang
antara pusar dan lutut,. Dalam sebuah hadits diceritakan :
أن عمر بن الخطاب قال : سألت رسول الله صلى الله عليه و سلم : ما للرجل من امرأته و هي حائض, قال : ما فوق الالإزار
Bahwa sayyidina Umar bin Khotob bercerita,
“Aku bertanya kepada nabi SAW, apa yang halal bagi seorang laki-laki dari
istrinya ketika ia sedang haid? Nabi SAW sesuatu yang diatas sarung.”
Dalam hadits lain sayyidah aisyah
bercerita :
عن عائشة رضي الله عنها : كانت إحدانا إذا كانت حائضا أمرها النبي صلى الله عليه وسلم أن تأنزر في فور حيضتها ثم يباشرها, و أيكم يملك إربه كما كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يملك إربه
Dari sayyidah aisyah ra beliau
bercerita : “Dulu, salah satu dari kami (istri-istri nabi) jika sedang haid
nabi SAW menyuruhnya memakai sarung pada awal haidnya, baru kemudian nabi
menyentuhnya. Siapa diantara kalian yang mampu menahan nafsunya sebagaimana
nabi menahan nafsunya.”
Sarung, seperti yang kita ketahui
hanya menutupi area antara pusar dan lutut. Oleh karena itu para ulama
berpendapat bahwa yang haram disentuh dari orang yang haid adalah area antara
pusar dan lutut. Diharamkannya area lutut dan pusar wanita haid adalah mencegah
terjadinya persetubuhan, sebab area itulah yang memang menggugah hasrat
seseorang untuk bersetubuh. Selain diharamkan bagi laki-laki untuk bermain-main
di area tersebut, diharamkan pula bagi wanita membiarkan suaminya memasuki
wilayah itu. Sebaliknya, area antara pusar dan lutut suami tidak haram disentuh
oleh istri walaupun dengan syahwat.
Diharamkan bersetubuh dan
bermain-main diarea tersebut jika darah masih keluar, jika darah sudah berhenti
tidak haram bagi suami untuk bersetubuh dan bermain-main diwilayah tersebut,
meski setelah itu darah keluar lagi.
Sebagai contoh, seorang wanita
mengeluarkan darah haid selama 3 hari 3 malam. Kemudian dihari ketujuh darah
datang lagi sampai hari kesepuluh. Dalam contoh ini, pada hari keempat kelima
dan keenam tidak ada darah sama sekali yang keluar dari rahimnya. Bahkan ketika
dimasukkan kapas kedalam kemaluannya tidak ada bercak darah yang menempel
sedikitpun. Bagaimana hukum wanita ini dalam tiga hari tersebut?
Pada hari keempat, kelima dan
keenam ia wajib sholat dan puasa (dibulan ramadhan), bahkan ia boleh
bersetubuhdengan suaminya. Kenapa demikian? Sebab selama tiga hari itu ia
merasa dirinya telah suci dan ia tidak tahu bahwa darahnya akan datang di hari
ketujuh, oleh karena itu ulama mewajibkan sholat dan puasa serta membolehkan
untuk bersetubuh, sebab secara dzohir ia telah suci dan darahnya tidak akan
datang lagi.
Ketika di hari ketujuh darahnya
datang lagi, menjadi jelas bahwa semua ibadah yang dilakukannya di hari
keempat, kelima dan keenam tidak sah, karena semua ibadah dilakukan dimasa
haid. Sholat yangia lakukan tidak perlu di qodho’ lagi, sebab kewajiban sholat
memang gugur pada masa haid. Puasa ramadhan yang telah ia lakukan pada tiga
hari tersebut wajib diqodho’, sebab kewajiban puasa tidak gugur dengan
datangnya haid. Perhatikan hadits sayyidah Aisyah ra berikut :
Mu’adzah bercerita, aku bertanya
kepada sayyidah Aisyahra, akukatakan mengapa wanita haid mengqodho’ puasa dan
tidak mengqodho’ sholat? Beliau menjawab, apakah engkau seorang haruriya
(Khawarij)? Aku jawab aku bukan haruriya, aku hanya bertanya. Maka beliau pun
menjawab hal ini telah menimpa kami, maka diperintah (oleh nabi SAW) untuk
mengqodho’ puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqodho’ sholat.
Sebagai kesimpulan, mentaati
syare’at adalah keselamatan dunia akherat. Rahasia yang telah diatur oleh Allah
SWT dan RasulNya adalah kemaslahatan yang tidak diketahui oleh manusia.
Taatilah setiap aturan meski kita tidak tahu untuk apa Allah melarang kita,
atau mengapa Allah memerintahkannya? Niscaya kita akan menemukan ketentraman
baik dunia maupun akherat.