Home » » Hukum bersetubuh di masa haid

Hukum bersetubuh di masa haid

Written By Unknown on Minggu, 16 Februari 2014 | 23.48



Islam adalah ajaran yang sempurna. Semua aspek kehidupan telah diajarkan oleh agama yang haq ini. Mulai dari hal-hal tentang ibadah hingga menyangkut tentang kehidupan sehari-hari. Bahkan masalah kebersihan jasmani dan rohani yang semua itu jauh berbeda dengan cara-cara orang yahudi.
Diantara sekian banyak perbedaan seoran muslim dan yahudi salah satunya tentang wanita yang sedang haid. Orang yahudi memiliki kebiasaan yang sangat tidak menghargai wanita yang sedang haid. Meraka mempunyai kebiasaan menjauhi wanita yang sedang haid, bahkan duduk pun mereka melarang.
Begitulah kenyataanya! Memang tidak ada ajaran yang memuliakan wanita daripada islam. Islam adalah agama yang ajarannya benar-benar menghargai wanita. Dari mulai aurat, soal haid, dan bagaimana cara menghadapi wanita haid, islam telah mengatur yang terbaik bagi wanita. Seperti agama-agama yang lain, agama yahudi melihat wanita hanya dengan satu sisi saja, bahwa mereka diciptakan hanya untuk pemuas nafsu kaum lelaki belaka.
Para sahabat nabi takut bahwa kebiasaan orang yahudi juga disyariatkan dalam islam. Maka mereka bertanya kepada Nabi SAW tentang hal ini dan turunlah ayat :

و يسألونك عن المحيض قل هو أذى فاعتزلوا النساء في المحيض و لا تقربوهن حتى يطهرن فإذا تطهرنا فأتوهن حيث أمركم الله إن الله يحب التوابين و يحب المتطهرين

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang haid itu najis maka jauhilah para wanita pada masa haid dan jangan engkau dekati sampai mereka suci.”
Setelah turunnya ayat ini Beliau SAW bersabda :

 إصنعوا كل شيء إلا النكاح

“Lakukan segala sesuatu kecuali bersetubuh”
Perintah Al qur’an untuk menjauhi wanita yang sedang haid itu berarti menjauhi area pusar dan lutut sebagaimana dijelaskan oleh Nabi SAW, dan bukan menjauhi dalam hal makan, minum, dan tempat tinggal sebagaimana kebiasaan orang yahudi.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam bukhori  dan imam muslim, sayyidah aisyah menceritakan bagaimana nabi SAW berhubungan dengan istri yang sedang haid. Beliau bercerita :

 كنت أشرب و أنا حائض ثم أناوله النبي فيضع فاه على موضع في فيشرب و أتعرق العرق و أنا حائض ثم أناوله النبي فيضع فاه على موضع في

“Aku pernah minum ketika aku dalam keadaan haid, kemudian aku berikan (tempat minum itu) kepada nabi SAW, maka beliau pun meletakkan mulut beliau yang mulia pada bekas mulutku. Dan aku menggigit daging ketika aku dalam keadaan haid, kemudian aku berikan (daging tersebut) kepada nabi SAW beliau pun meletakkan mulut beliau yang mulia pada bekas mulutku.”
Tengok betapa romantiskehidupan keluarga nabi SAW ini! Beliau SAW tidak memperdulikan keadaan istrinya yang sedang haid, dan tetap bermu’asyaroh dengan mereka sebagaimana ketika mereka dalam keadaan suci. Dalam hadits lain sayyidah aisyah ra juga bercerita :

 كان رسول الله يتكئ في حجري و أنا حائض فيقرأ القرأن


“Pernah Rasul SAW bersandar di pangkuanku ketika aku dalam keadaan haid, dan beliaupun membaca Al qur’an.”
Mengapa mengharamkan hubungan suami istri pada masa haid dan tidak mengharamkannya ketika istihadhoh?
Dalil keharaman hubungan badan di masa haid dari alqur’an adalah ayat yang berbunyi :

و يسألونك عن المحيض ........ الأية

Dalil dari hadits adalah sabda nabi SAW :

إصنعوا كل شيء إلا النكاح

Oleh karena itulah imam syafi’I menyatakan :

 من فعل ذلك فقد أتى كبيرة

“Orang yang melakukan hal itu berarti telah melakukan dosa besar,.”
Adapun terhadap wanita yang istihadhoh, tidak terdapat hadits atau ayat alqur’an yang mengharamkan persetubuhan. Justru Nabi SAW mengatur hari-hari istihadhoh menjadi hari-hari haid dan suci sebagaimana hari-hari tidak terjadi istihadhoh. Dalam sebuah hadits diceritakan ada perempuan yang sedang istihadhoh. Ketika ummu salamah bertanya kepada Nabi SAW, beliau SAW menjawab :

لتنظر الليالي و الأيام التي كانت تحيض من الشهر قبل أن يصيبها الذي أصابها فلتترك الصلاة قدر ذالك

“Lihatlah jumlah malam dan hari ketika dia haid pada bulan sebelum istihadhoh, tinggalkan sholat seukuran itu.”
Yang dimaksudkan dengan ‘tinggalkanlah sholat seukuran itu’ adalah tidak semua darah yang keluar itu dihukumi haid dan tidak semuanya dihukumi suci, akan tetapi ada masa haid dan ada masa suci. Masa dimana Nabi SAW melarang shalat, itulah masa haid dan selain itu adalah masa suci. Tentu saja ia boleh berhubungan badan pada masa suci meski darah masih keluar.
Adapun dari sisi kesehatan, ternyata mensetubuhi istri yang sedang haid itu membahayakan kesehatan istri. Sedangkan mensetubuhi istri yang sedang istihadhoh tidak berpengaruh apapun pada kesehatan istri. Rahim perempuan adalah oragan yang steril, sangat sensitive dan rentan penyakit, dan oleh karena itu ia selalu tertutup. Bahkan disaat senggama, rahim tetap tertutup sehingga sperma yang masuk sangatlah sedikit. Ketika wanita sedang haid, rahim terbuka untuk mengeluarkan darah haid. Di sinilajh syare’at melarang senggama demi menjaga kesehatan rahim.
Darah haid keluar dari rahim, sedangkan daarah istihadhoh tidak. Darah istihadoh keluar dari urat ‘adzil yang terletak di luar organ rahim, seperti hidung kita dimana terdapat urat didalamnya yang dapat mengeluarkan darah mimisan. Wanita yang mengalami istihadhoh mulut rahimnya tetap tertutup sehingga jika ia disetubuhi pada saat itu, bakteri tidak masuk kedalam. Oleh karena itu maka perempuan mustahadhoh tidak haram disetubuhi, bahkan tidak makruh.
Yang diharamkan pada wanita haid bukan hanya hubungan suami istri, akan tetapi juga bersentuhan atau bersenang-senang antara pusar dan lutut,. Dalam sebuah hadits diceritakan :

أن عمر بن الخطاب قال : سألت رسول الله صلى الله عليه و سلم : ما للرجل من امرأته و هي حائض, قال : ما فوق الالإزار 

Bahwa sayyidina Umar bin Khotob bercerita, “Aku bertanya kepada nabi SAW, apa yang halal bagi seorang laki-laki dari istrinya ketika ia sedang haid? Nabi SAW sesuatu yang diatas sarung.”
Dalam hadits lain sayyidah aisyah bercerita :

 عن عائشة رضي الله عنها : كانت إحدانا إذا كانت حائضا أمرها النبي صلى الله عليه وسلم أن تأنزر في فور حيضتها ثم يباشرها, و أيكم يملك إربه كما كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يملك إربه

Dari sayyidah aisyah ra beliau bercerita : “Dulu, salah satu dari kami (istri-istri nabi) jika sedang haid nabi SAW menyuruhnya memakai sarung pada awal haidnya, baru kemudian nabi menyentuhnya. Siapa diantara kalian yang mampu menahan nafsunya sebagaimana nabi menahan nafsunya.”
Sarung, seperti yang kita ketahui hanya menutupi area antara pusar dan lutut. Oleh karena itu para ulama berpendapat bahwa yang haram disentuh dari orang yang haid adalah area antara pusar dan lutut. Diharamkannya area lutut dan pusar wanita haid adalah mencegah terjadinya persetubuhan, sebab area itulah yang memang menggugah hasrat seseorang untuk bersetubuh. Selain diharamkan bagi laki-laki untuk bermain-main di area tersebut, diharamkan pula bagi wanita membiarkan suaminya memasuki wilayah itu. Sebaliknya, area antara pusar dan lutut suami tidak haram disentuh oleh istri walaupun dengan syahwat.
Diharamkan bersetubuh dan bermain-main diarea tersebut jika darah masih keluar, jika darah sudah berhenti tidak haram bagi suami untuk bersetubuh dan bermain-main diwilayah tersebut, meski setelah itu darah keluar lagi.
Sebagai contoh, seorang wanita mengeluarkan darah haid selama 3 hari 3 malam. Kemudian dihari ketujuh darah datang lagi sampai hari kesepuluh. Dalam contoh ini, pada hari keempat kelima dan keenam tidak ada darah sama sekali yang keluar dari rahimnya. Bahkan ketika dimasukkan kapas kedalam kemaluannya tidak ada bercak darah yang menempel sedikitpun. Bagaimana hukum wanita ini dalam tiga hari tersebut?
Pada hari keempat, kelima dan keenam ia wajib sholat dan puasa (dibulan ramadhan), bahkan ia boleh bersetubuhdengan suaminya. Kenapa demikian? Sebab selama tiga hari itu ia merasa dirinya telah suci dan ia tidak tahu bahwa darahnya akan datang di hari ketujuh, oleh karena itu ulama mewajibkan sholat dan puasa serta membolehkan untuk bersetubuh, sebab secara dzohir ia telah suci dan darahnya tidak akan datang lagi.
Ketika di hari ketujuh darahnya datang lagi, menjadi jelas bahwa semua ibadah yang dilakukannya di hari keempat, kelima dan keenam tidak sah, karena semua ibadah dilakukan dimasa haid. Sholat yangia lakukan tidak perlu di qodho’ lagi, sebab kewajiban sholat memang gugur pada masa haid. Puasa ramadhan yang telah ia lakukan pada tiga hari tersebut wajib diqodho’, sebab kewajiban puasa tidak gugur dengan datangnya haid. Perhatikan hadits sayyidah Aisyah ra berikut :
Mu’adzah bercerita, aku bertanya kepada sayyidah Aisyahra, akukatakan mengapa wanita haid mengqodho’ puasa dan tidak mengqodho’ sholat? Beliau menjawab, apakah engkau seorang haruriya (Khawarij)? Aku jawab aku bukan haruriya, aku hanya bertanya. Maka beliau pun menjawab hal ini telah menimpa kami, maka diperintah (oleh nabi SAW) untuk mengqodho’ puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqodho’ sholat.
Sebagai kesimpulan, mentaati syare’at adalah keselamatan dunia akherat. Rahasia yang telah diatur oleh Allah SWT dan RasulNya adalah kemaslahatan yang tidak diketahui oleh manusia. Taatilah setiap aturan meski kita tidak tahu untuk apa Allah melarang kita, atau mengapa Allah memerintahkannya? Niscaya kita akan menemukan ketentraman baik dunia maupun akherat.
Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Copyright © 2013. Anwaruttaufiq - All Rights Reserved